Warsito Purwo Taruno (paling kiri) saat menerima kunjungan Menristekdikti Mohamad Nasir di CTech Lab Edwar Technology di Alam Sutera, Serpong, Tangerang, Banten, Senin (11/01/2015). |
AbhyReinkarnasi.com - Perjuangan sang penemu alat pembunuh kanker asal Indonesia, Warsito Purwo Taruno, memang luar biasa. Pria yang mendapat gelar doktor Teknik Elektro di Shizouka University Jepang pada 1997 itu membawa nama Indonesia semakin berkibar di kancah internasional. Itu setelah bapak dari empat anak ini menciptakan alat pembunuh sel kanker pertama di dunia.
Alat pembunuh kanker buata Warsito yang dikenal dengan nama Electro Capacitive Cancer Therapy (ECCT) ini sudah mendunia dan telah digunakan di negara seperti Jepang, Jerman dan Polandia. Dalam pengembangan nya sendiri tentu bukan hal yang mudah. Warsito mengaku, penemuannya tersebut telah melalui riset hingga puluhan tahun.
Awalnya, kata Warsito, ia merasa iba kepada kakak perempuannya yang menderita kanker payudara stadium IV. Karena alat kesehatan belum ada yang mampu menyembuhkan penyakit kakaknya, dia pun bertekad untuk menciptakan alat pembunuh sel kanker sendiri.
Singkat cerita, setelah mencoba ECCT tersebut, penyakit sang kakak pun perlahan membaik hingga dinyatakan bersih dari sel kanker yang hampir merenggut nyawanya.
ECCT ini dirancang oleh Warsito bersama timnya di CTech Lab Edwar Technology yang berlokasi di Alam Sutera, Serpong, Tangerang. "Ini memang cita-cita saya setelah lulus kuliah di luar (negeri) ingin membangun pusat riset di Indonesia," katanya saat ditemui di CTech Lab, Tangerang, Senin (11/1).
Pria kelahiran Surakarta 1967 itu menjelaskan, ECCT ini bukanlah karyanya yang pertama, melainkan turunan dari risetnya terdahulu, yaitu Electrical Capacitance Volume Tomography (ECVT).
Bahkan pada 2006, ketika polemik tentang ECVT sedang panas, NASA memakainya untuk pengembangan sistem pemindaian di pesawat ulang-alik. Riset tersebut juga telah menghasilkan jurnal ilmiah yang sudah dipublikasi tingkat internasional.
"Ilmuwan dunia saat itu heran melihat penemuan ECVT dari Indonesia. Saat itu juga profesor di Amerika menawari saya agar mengembangkan ECVT di sana, sudah disediakan lahan untuk lab, hingga dana pendukung. Namun saya menolak karena saya ingin memajukan riset-riset di Indonesia," katanya.
ECCT dan ECVT ini bekerja seperti radioterapi dan CT scan untuk pemindai dengan sumber gelombang elektromagnet pengion.
Teknologi ini dikembangkan berdasarkan prinsip fisika dan matematis. Bedanya ECVT dan ECCT memanfaatkan sifat dasar biofisika sel dan jaringan.
"Pada prakteknya ini menggunakan listrik berdaya rendah yang akan membunuh sel kanker pada saat membelah, sehingga tidak memperbanyak sel kanker itu sendiri. Aliran listriknya ini akan disalurkan melalui jaket dan penutup kepala yang dikenakan pasien," terangnya.
Namun, penelitiannya tersebut justru tidak mendapat restu dari pemerintah Indonesia. Balitbangkes Kementerian Kesehatan RI melarang teknologi yang dikembangkan Warsito itu beroperasi di Tanah Air. Alasannya, ECVT dan ECCT dinilai belum mempunyai bukti ilmiah yang kuat untuk bisa digunakan sebagai alat diagnosis dan terapi kanker.
Teknologi ECCT dan ECVT yang kini mulai digunakan di rumah sakit di Jakarta, Semarang, Surabaya, dan Jogjakarta pun harus ditutup. Sementara pihak Kemenkes masih meninjau tentang teknologi tersebut.
Sementara itu, alat pemusnah kanker buatan Warsito ini sudah diakui di dunia. Terakhir pada 2015, disertasi Sahudi Salim dari Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Unair) menegaskan bahwa ECCT terbukti secara ilmiah bisa membunuh sel kanker.
Warsito pun menyadari hal tersebut lantaran memang belum ada penelitian sebelumnya tentang hal itu.
"ECVT dan ECCT bisa dikatakan tidak ada referensinya di dunia luar, karena keduanya lahir di Indonesia, dan pertama di dunia. Adanya kontroversi itu sendiri justru karena kita mencoba sesuatu yang baru. Tanpa mencoba sesuatu yang baru, tak ada yang akan mengubah nasib kita," ungkapnya.
Apabila ECCT dan ECVT diterima di Indonesia, pihaknya tidak akan melakukan komersialisasi, melainkan sepenuhnya diberikan untuk kemajuan kesehatan masyarakat Indonesia. "Ini punya masyarakat Indonesia. Kalau bukan saya yang membuatnya, akan ada orang lain yang membuatnya di tempat lain di waktu lain. Jadi ini tidak akan komersil, kecuali kalau dijual ke luar negeri," tegasnya. {jwp}