Setiap saya ingin makan siang, saya selalu mencari orang yang menjual ikan keumamah, atau ikan kayu. Sebenarnya, bahasa resmi untuk itu adalah Eungkot Keumamah, karena ikan adalah Eungkot, jika diucapkan dalam bahasa Aceh.
Nama lain nya adalah ikan kayu. Mungkin karena tekstur nya yang keras seperti kayu, karena dijemur hingga kering dan keras, mirip kayu, hahaha.
Konon, dulu jamaah haji Aceh selalu membawa ikan kayu atau eungkot keumamah itu dalam perjalanan nya menuju Tanah Suci. Seperti yang kita tahu, dulu orang yang naik haji perlu waktu berbulan bulan untuk tiba di Arab Saudi, karena menggunakan kapal laut. Sangat lama, bukan ?
Nah, maka dimasaklah menu ikan keumamah ini. Sebab sifatnya yang tahan lama, cocok untuk persediaan makanan yang bisa disimpan untuk dibawa ketika bepergian jarak jauh. Mungkin ini juga sama sejarahnya dengan terciptanya kuliner paling lezat di dunia, Rendang, oleh orang Sumatera Barat. Sama sama tahan lama.
Saat ini saya masih tinggal di kota Banda Aceh, jadi ikan keumamah atau ikan kayu itu selalu saya beli setiap hari, sebelum jam makan siang. Biasanya saya makan siang jam 3 siang, dan sebelum jam 3 saya sudah berputar-putar membelinya.
Kenapa saya tidak makan di warteg saja, atau di rumah makan ? Pertama, saya makan cuma sekali sehari, yakni siang saja, dan warteg mahal menurut saya. Kedua, saya kasihan pada ibu-ibu tua penjual ikan siap santap itu, yang berjualan di pinggir jalan, mulai dari jam 12 siang hingga jam 3 siang.
Ikan keumamah itu di jual dalam bungkusan plastik bening, dan harga sebungkusnya 5 ribu rupiah saja. Cukup murah menurut ukuran saya. Saya beli tiap hari, sebungkus ikan keumamah dan sebungkus ikan gulai. Cuma 10 ribu rupiah saja.
Saya betul kasihan pada ibu tua penjual lauk-pauk itu. Saat saya tiba jam 3 siang kurang, ikan-ikan nya masih banyak, sedikit yang laku. Penyebabnya, anak kost seperti saya, mungkin lebih suka makan di rumah makan/restoran. Atau memasak sendiri lauknya. Faktor lain nya, banyak penjual ikan siap santap yang juga bertebaran di kota Banda Aceh.
Pernah suatu waktu, saya hanya membeli ikan kayu dan ikan gulai, ibu tua penjual ikan itu malah menggratiskan sebungkus sayuran. Ah, kadangkala orang kurang mampu lebih mulia daripada orang kaya, rendah hati dan tetap gemar memberi, meski hidup kekurangan.
Rasa ikan kayu itu yang gurih, membuat saya selalu kembali membelinya, setiap hari. Oh ya, ikan dan segala lauk pauk dan sayuran siap saji itu hanyalah titipan orang lain, ibu itu hanya bertugas menjualnya. Mungkin ada komisi tertentu, dari setiap bungkus ikan yang laku terjual.
Contoh, harga sebungkus ikan kayu adalah 5000 rupiah. Mungkin komisi ibu itu 1000 rupiah per bungkus ikan kayu dan lauk lain nya. Sayur juga demikian, 5000 sebungkus. Hanya gulai ayam yang 10 ribu.
Dengan asumsi demikian, jika hanya laku 20 bungkus, ibu tua itu hanya memperoleh 20 ribu penghasilan sehari. Saya tidak bisa berpikir, apakah uang itu cukup untuk biaya hidup anak dan keluarganya. Oleh sebab itu, setiap hari saya membelinya, dengan harapan sedikit bisa membantu lakunya ikan dan lauk pauk yang dijualnya.
Jika ada di antara Anda para pembaca blog saya ingin membuat dan memasak ikan kayu atau eungkot keumamah ini, saya sertakan resepnya dibawah ini :
Bahan :
- 1 kg ikan tongkol, bersihkan, rebus hingga matang, tiriskan, jemur hingga kering
- 100 ml minyak goreng
- 10 bh bawang merah, iris tipis
- 10 bh asam sunti
- 10 lbr daun temurai
- 1 sdt garam150 ml air
Bumbu halus :
- 2 sdm cabai merah halus
- 4 sdm bawang merah halus
Cara memasak :
- Rendam tongkol yang sudah kering, rendam selama 1 jam, iris-iris kecil.
- 2. Panaskan minyak, tumis bawang merah iris sampai harum. Masukkan bumbu halus, asam sunti, daun temurai, dan garam, aduk rata.
- 3. Tambahkan air, masak sampai bumbu matang. Masukkan ikan tongkol yang sudah direndam, masak sampai ikan kering. Sajikan.